Murid-murid Rahasia

Suatu senja kira-kira dua ribu tahun yang lalu, seseorang bernama Yusuf dari Arimatea meminta izin kepada Pilatus untuk menurunkan dan menguburkan jasad Yesus yang telah terkulai mati di atas salib. Pilatus yang mengetahui bahwa sesungguhnya “Raja Orang Yahudi” itu tak memiliki setitik pun kesalahan yang membuatnya layak dijatuhi hukuman terkejam hukum Romawi itupun memberikan izin.

Siapakah Yusuf dari Arimatea ini? Yohanes yang menceritakan peristiwa itu tak memberikan petunjuk selain bahwa dia adalah “secret disciple”, alias murid rahasia Yesus. Lebih lanjut, murid yang paling dekat dengan Yesus itu menerangkan, bahwa Yusuf dari Arimatea tidak secara terang-terangan menyatakan hubungannya terhadap Guru Muda itu karena takut dengan orang-orang Yahudi, khususnya kaum Farisi dan ahli Taurat.

Tak hanya Yusuf dari Arimatea, ternyata ada pula salah seorang dari kalangan pemuka agama Yahudi yang turut menguburkan mayat Yesus. Dia adalah Nikodemus, yang pernah datang menemui Yesus secara pribadi di waktu malam. Kepada orang ini, Yesus menyampaikan sebuah kalimat yang sangat terkenal di seantero dunia hingga saat ini, yang dicatat oleh Yohanes di dalam kitabnya, yakni:

“Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini,
sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal,
supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa,
melainkan beroleh hidup yang kekal.”
(Yoh. 3:16)

Nikodemus membawa sekitar 9 kilogram campuran minyak mur dan minyak gaharu untuk memandikan mayat Yesus. Bersama Yusuf, dia menurunkan mayat Yesus, mengapaninya dengan kain lenan, dan membubuhinya dengan rempah-rempah, sesuai dengan adat-istiadat penguburan orang Yahudi. Setelah itu, mereka meletakkan jasad Yesus ke dalam sebuah kubur kosong yang berada di dekat lokasi penyaliban Yesus.

Murid-murid Rahasia
Yusuf dari Arimatea dan Nikodemus merupakan “murid-murid rahasia” Yesus selama Ia masih hidup. Lalu mengapa mereka tiba-tiba menjadi begitu “pemberani” dan meminta izin kepada Pilatus untuk mengurus mayat Yesus? Salah satu pertimbangan yang masuk akal adalah, mereka berpikir bahwa kemarahan orang banyak terutama kaum Farisi dan ahli Taurat pastilah sudah reda seiring dengan matinya Yesus. “Aliran baru” yang diajarkan oleh Yesus itu, cepat atau lambat, akan hilang dengan sendirinya karena kematian “Sang Ketua”, sama seperti nasib aliran-aliran sekte agama Yahudi sebelumnya.

Pascakematian Yesus, kaum Farisi dan ahli Taurat yang dengki terhadap Yesus pastilah merayakan “kemenangan” mereka dan tak lagi menganggap “sekte baru” itu sebagai sesuatu hal yang membahayakan. Toh, sewaktu Yesus ditangkap, para murid yang setiap hari bersamaNya malah melarikan diri, bukan? Tidak ada tanda-tanda perlawanan pula dari Sang Guru. Pada kenyataannya, sewaktu Yusuf dan Nikodemus mengurus jenazah Yesus, tidak ada keberatan ataupun protes dari para pemuka agama itu.

Yesus yang mati bukanlah “ancaman” bagi dunia, terutama para ahli Taurat dan orang Farisi. Berbeda dengan Yesus ketika masih hidup, yang dengan terang-terangan membuka kebusukan mereka dan dengan demikian, mempermalukan mereka di hadapan umum. Jangan lupa, Yesus yang masih hidup juga “membuat onar” di bait suci, melanggar adat-istiadat Yahudi, dan banyak hal lain yang membuat para pemuka agama itu kehilangan legitimasi.

Sayangnya, Yohanes tidak memberikan keterangan lanjutan mengenai sikap kedua murid rahasia Yesus itu pascakebangkitan, apakah mereka kembali menjadi murid rahasia, atau menjadi orang-orang yang secara terus terang mengakui Kekristenan mereka dan menghidupi teladan Sang Guru Agung itu, seperti para murid yang lain. Namun, mengingat nama mereka tak tercatat lagi di dalam kitab-kitab lain seperti Kisah Para Rasul ataupun di dalam surat-surat penggembalaan para rasul, nampaknya meskipun mereka bergabung ke dalam jemaat mula-mula, mereka melakukannya secara sembunyi-sembunyi pula.

Penutup
Dua ribu tahun lebih telah berlalu semenjak peristiwa agung itu. Sepanjang masa-masa itu pula, Kekristenan maju dan berkembang serta bertahan di dalam lintasan sejarah. Ini merupakan sebuah fakta yang tak diduga sama sekali oleh para ahli Taurat dan orang Farisi pada waktu itu. Mereka menyangka bahwa “pergerakan” Yesus telah usai di Kalvari. Namun, mereka salah. Yesus yang mereka salibkan itu ternyata tak mempan oleh kematian dan bangkit pada hari ketiga, sesuai dengan apa yang telah Ia nyatakan sebelumnya. Yesus mungkin pernah mati, namun Ia telah bangkit kembali dan hidup serta menyertai kita selama-lamanya.

Saat ini, adakah kita menjadi murid-murid Yesus, bapa-bapa gereja, dan para martir, yang menyatakan iman dengan terus terang dan berani, ataukah kita akan menjadi seperti Yusuf dan Nikodemus, yang memegang iman secara privat, alias sembunyi-sembunyi? Apakah sikap dan gaya hidup kita yang meneladani Yesus sudah “mengganggu” orang-orang yang “berkepentingan” di sekitar kita, ataukah kita hanya follow the flow, alias diam saja melihat kejahatan dan kemunafikan berlangsung di sekitar kita, dan baru muncul setelah ketidakadilan dan kejahatan itu memakan korban?

Tinggalkan sebuah komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *