Bermain Sebagai Tuhan

Internet penuh dengan gambar dan video unik. Salah satunya adalah gambar di bawah ini:

empat atau tiga

Di dalam pigura gambar di atas, ada dua orang yang sedang berdebat mengenai jumlah balok yang ada di antara mereka. Pria di sebelah kiri mengatakan bahwa dia melihat empat buah balok, sedangkan pria di sebelah kanan mengatakan, bahwa hanya ada tiga buah balok di antara mereka. Tentu keduanya tidak mungkin sama-sama benar, bukan? Nah, apakah yang sebenarnya terjadi?

Pembuat gambar di atas dengan “cerdik” bermain dengan perspektif atau sudut pandang. Garis-garis yang ada direkayasa sedemikian rupa sehingga menciptakan perdebatan sengit di antara kedua orang tersebut.

Gambar ini seringkali dipakai untuk menggambarkan (atau, lebih tepatnya, menggurui!), bahwa kebenaran yang diyakini oleh seseorang hanyalah persoalan perspektif, sehingga perdebatan mengenai apa atau mana yang benar dan salah bukanlah kegiatan yang produktif.

Sekilas, tidak ada yang salah dengan gambar maupun pesan yang ingin disampaikannya, tetapi pembuat gambar ini melupakan satu perspektif yang lain, yakni sudut pandang “Tuhan.” “Tuhan”nya adalah kita, orang-orang yang mengamati gambar kedua orang yang sedang berdebat tersebut.

Kita tahu, bahwa balok-balok yang ada di hadapan mereka itu tidak digambar dengan “jujur,” alias direkayasa. Sayangnya, kedua orang di gambar tersebut tidak tahu. Sebaliknya, kita, dengan “perspektif ilahi,” dapat mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi. Kebenaran memang soal perspektif, namun bukan perspektif manusia, melainkan perspektif ilahi.

Kebenaran juga tak pernah bersifat relatif, sebagaimana hendak dikatakan oleh orang-orang yang biasanya memakai gambar ini untuk membenarkan pendapat mereka; karena bukankah kita—“para tuhan”—yang mengamati gambar tersebut mengetahui kebenaran absolutnya, yaitu bahwa gambar tersebut dibuat sedemikian rupa sehingga orang yang di sebelah kiri melihat empat balok, sedangkan yang di sebelah kanan hanya melihat tiga?

Oleh karenanya, siapapun yang mengatakan, bahwa kebenaran itu hanya persoalan perspektif manusiawi, atau bahwa kebenaran itu—karena terkait perspektif manusiawi—sifatnya relatif, bolehlah dikatakan, bahwa ia sedang memainkan sebuah permainan yang paling berbahaya: bermain sebagai Tuhan.

Tinggalkan sebuah komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *