Ada satu percakapan menarik yang terjadi setelah aku dan istriku menghadiri kebaktian sebuah gereja. Gereja itu adalah gereja rayon/cabang dari gereja pusat di Tanah Abang. Jemaat yang hadir pagi itu sedikit, hanya sekitar 30 orang. Setelah ibadah, kami berbincang dengan beberapa orang, dan salah satunya adalah seorang guru sekolah minggu yang kebetulan pernah dan masih aktif di pelayanan mahasiswa, Risma namanya.
Dari percakapan tersebut, kami tahu bahwa dia—meski berasal dari gereja itu—cukup aktif juga di pelayanan gereja yang digembalakan oleh pak Tong (panggilan untuk Pdt. DR. Stephen Tong) dan (sepertinya) sempat beberapa waktu lamanya meninggalkan gereja asalnya. Apa yang akhirnya membuat Risma kembali ke gereja asalnya ini? Ternyata bukan karena sakit hati.
Dia bertutur bahwa pada sebuah acara pembekalan pengerja, pak Tong dengan gamblang meminta agar setiap orang yang hadir di situ, jika punya gereja asal, kembali ke gereja asalnya masing-masing. Gereja-gereja Tuhan di Indonesia sedang keropos, demikian katanya, jadi mereka diminta untuk kembali dan membangun gerejanya masing-masing.
Hanya Bertambah Merek
Tentu bukan rahasia umum dan takkan ada yang menyangkal bahwa pertumbuhan jemaat gereja-gereja di Indonesia sangat memprihatinkan. Kalau bukan karena ada kelahiran atau pernikahan, pertambahan jemaat justru malah terjadi karena perpindahan jemaat dari satu gereja ke gereja lain. Tak sedikit malah yang berpindah gereja karena sakit hati. Gereja kita hanya bertambah merek, bukan pelanggan!
Pendeta Jan Calvin Pindo dari GKI Pamulang pernah bercerita bahwa ketika bersilaturahmi dengan Camat Pamulang yang baru, beliau dan beberapa teman disodori data bahwa di hanya di satu kota Kecamatan itu saja terdapat lebih kurang 72 gereja dan (kalau tidak salah ingat) hanya empat masjid. Sungguh suatu fakta yang mengejutkan sekaligus membuat hati miris!
Katanya, salah satu penyebab banyaknya gereja di situ karena terjadinya perpecahan di dalam tubuh gereja. Karena pendeta-pendeta di dalam sebuah gereja berseteru dan tak bisa dipersatukan, maka pendeta A membuat gereja baru di sebelah gereja B, tentu jemaatnya adalah jemaat dari gereja B yang bersimpati pada pendeta A. Satu gereja besar terpecah menjadi 3 gereja kecil. Sungguh memprihatinkan.
Kondisi yang terjadi di Pamulang itu kupikir terjadi juga di tempat-tempat lain, meski mungkin dengan “intensitas” yang lebih kecil. Sepertinya itu juga yang membuat gereja-gereja sedikit menjaga jarak dengan lembaga pelayanan mahasiswa (parachurch). Mereka takut, lembaga itu kemudian akan “berubah wujud” menjadi gereja baru lagi, yang merebut “domba” mereka. Motifnya bisa dari spiritual (takut jemaatnya terkena pengajaran sesat) hingga ekonomis (takut kehilangan donatur).
Gereja sudah mengalami distorsi besar-besaran. Dalam bukunya yang berjudul “The Radical Disciple,” John Stott mengatakan kondisi gereja di dunia sebagai “bertumbuh tanpa kedalaman.” Di beberapa negara, pertambahan umat kristen memang meningkat pesat, namun sama sekali tanpa kedalaman. Di sini beda lagi. Yang terjadi adalah pertambahan gereja tanpa disertai pertambahan jemaat yang sejalan. Gereja-gereja yang ada kemudian saling bersaing untuk mendapatkan simpati dari umat kristen.
Bersinergi dan Saling Menumbuhkan
Nah, di tengah kondisi kehidupan gereja di Indonesia yang “busuk” ini, percakapan dengan Risma itu seolah menjadi penyegar. Pak Tong ternyata tidak termasuk pribadi yang mementingkan jumlah jemaat, melainkan seorang penginjil yang memiliki visi mulia bagi pertumbuhkembangan gereja di negeri ini. Gereja-gereja semestinya bersinergi dan saling menumbuhkan di dalam Kristus. Sikap senada disampaikan oleh Sekjen IFES, Mr. Daniel Bourdanné.
Beliau berkisah, setelah mempertobatkan satu mahasiswa, ia akan memberitahukan kepadanya ciri-ciri gereja yang sehat dan yang tidak sehat. Setelah itu, sang petobat baru disuruh memilih hendak bergereja di mana. Setelah keputusan dibuat, dia akan mengantarkan mahasiswa tersebut ke gereja yang dimaksud, mempertemukannya dengan gembala jemaat dan mempercayakan mahasiswa tersebut kepada sang gembala. Model pelayanan seperti ini membantu harmonisasi hubungan antara gereja dengan IFES.
Memang, kita tidak bisa menggeneralisasi bahwa semua gereja Tuhan di Indonesia berada dalam kondisi yang memprihatinkan. Masih ada pula gereja dan pendeta yang bersungguh hati di dalam Tuhan. Hanya saja, mereka yang sehat ini sekarang menghadapi tantangan-tantangan yang lebih banyak, dari dalam maupun dari luar gereja. Inilah sebenarnya peluang yang sangat besar bagi kita yang mendapat berlimpah “ilmu” dari pelayanan siswa/mahasiswa.
Seperti nasehat pak Tong, kita wajib memakai ilmu yang sudah kita pelajari di pelayanan siswa/mahasiswa untuk memperkuat gereja lokal kita masing-masing. Ketika aku di Semarang, aku merintis pelayanan kelompok kecil di persekutuan pemuda-remaja. Tak semua teman-teman di gereja beruntung memasuki bangku kuliah ataupun bersekolah/berkuliah di tempat yang “terjangkau” pelayanan. Oleh karena itu aku merasa perlu membagikan hal yang baik yang kudapatkan di dalam pelayanan kepada teman-teman di gereja.
Nyalakanlah Lilin
Adalah hal yang menyedihkan jika mendengar bahwa para aktivis maupun alumni pelayanan mahasiswa yang notabene mendapatkan berlimpah ilmu dan pengalaman itu hanya menjadi “pengunjung setia” di gereja lokalnya (aku pernah melakukannya). Bahkan empat orang kusta yang disingkirkan oleh komunitasnya pun merasa bersalah jika tidak memberitahukan perihal “rejeki nomplok” yang mereka temukan di perkemahan orang Aram (2 Raja-raja 7:9)!
Lebih menyedihkan lagi jika mereka—selain sekedar menjadi pengunjung setia—juga melemparkan berbagai kritik keras kepada gereja. Ini bukan berarti bahwa gereja harus bebas dari kritik; sebaliknya, sebagai bagian dari komunitas umat percaya, kita wajib untuk saling mengingatkan, membangun, dan menguatkan. Kritik perlu diimbangi solusi, dan akan lebih baik lagi jika pengkritik ikut berpartisipasi. Sebuah pepatah Cina mengatakan bahwa adalah lebih baik untuk menyalakan lilin daripada mengutuk kegelapan. Mengutuk PLN karena tiba-tiba mati lampu adalah tindakan yang sia-sia. Jika ingin terang, nyalakanlah lilin atau genset!
Jadi jika saat ini ada di antara kita yang tak memberikan kontribusi terhadap gereja lokalnya (selain persembahan atau perpuluhan tentunya), inilah saatnya bagi kita untuk “mendirikan tembok” atau “berdiri di antara celah” tembok yang runtuh agar tak ikut kena murka Tuhan (Yeh. 22:30). Tak ada waktu yang lebih tepat lagi selain sekarang. Bukan waktunya lagi ke gereja sekedar untuk “tuntutan sosial,” “cari makan,” atau “have fun.”
Dalam sebuah gereja tradisional yang terbilang besar yang beberapa kali kuikuti ibadahnya (jemaatnya sekitar 3000 orang), aku terkejut dan tak habis pikir ketika mendapati pengumuman di warta jemaat bahwa gereja itu pun “terpaksa” membuka “lowongan” pelayanan kepada jemaat—dan para simpatisan! Apakah hal yang sama terjadi di gereja lokal kita? Semestinya tidak.
Satu pemikiran di “Kita dan Gereja Lokal Kita”
Banyak gereja yg tidak memiliki terobosan keberanian untuk mengenalkan dan membaptis umat lain yg belum percaya Isa Almasih, padahal pesan Isa Almasih sebelum naik ke surga adalah jadikan semua bangsa murid-muridNya dan baptis mereka dalam nama Bapa, Putra, dan Roh Kudus.
Setiap ibadah hari minggu dan ibadah-ibadah lainnya pendeta mengajarkan tentang kebenaran firman Tuhan, tp banyak pendeta termasuk jemaat hanya berani menceritakan firman kepada sesama umat kristen dengan iman untuk saling menguatkan.
Padahal panggilan utamanya sebagai seorang kristen ialah menjadikan semua bangsa muridNya dan membaptis mereka dalam namaNya.
Inilah menurut saya alasan kenapa banyak perpindahan jemaat digereja bukan pertambahan jemaat (Jiwa yang baru mengenal Isa Almasih).
Mungkin salah satunya karena faktor agama kristen adalah kaum minoritas, khususnya di Ibukota Jakarta ini. Sehingga keberanian untuk menceritakan kebeneran yg diyakini seorang kristen sulit untuk diungkapkan karena faktor lingkungan sosial.
Pada akhirnya saya berpendapat, gereja hanya sebatas tempat untuk melakukan ritual keagamaan yg wajib dilakukan seorang kristen dihari minggu, tanpa kurang tau pasti apakah tingkat keimanannya bertambah atau hanya formalitas sebagai tanggung jawab identitas keagamaannya.