30 Desember 2013, dalam kecemasan dan keputus-asaan, kami sekeluarga menunggu di koridor ruang tunggu ICU RS Gatot Subroto. Mama, yang dalam kondisi lelah batin dan jasmani dibalut kenyataan pahit kondisi kesehatan Papa yang semakin menurun di ruang ICU berucap, “Tuhan yang memberi, Tuhan yang mengambil.” Pada waktu itu, saya mencoba berpikir positif dan meyakini bahwa Tuhan akan memberi yang terbaik buat Papa yaitu kesembuhan total. Kali ini adalah kali ketiga Papa masuk rumah sakit sepanjang tahun 2013. Semenjak Papa seringkali masuk rumah sakit di usianya yang sudah memasuki 60 tahun, saya selalu berdoa, “Tuhan aku belum siap untuk kehilangan Papa.”
Malam itu, kami semua lengkap berkumpul di koridor ruang tunggu ICU. Kami enggan pulang ke rumah. Mungkin ini firasat. Di koridor itu, kami masing-masing berdoa untuk Papa. Sebelum berdoa, saya menyempatkan diri membaca Ayub pasal 1-2 dan berserah kepada Tuhan, “Bapa jika Tuhan mengizinkan, sembuhkanlah Papa. Buat ia sadar. Jika tidak, ambillah Papa dalam kemenangan. Tuhan yang memberi, Tuhan yang mengambil. Terpujilah Tuhan.” Namun, Tuhan berkehendak lain. 31 Desember 2013 tak lama setalah kami masing-masing selesai berdoa, perawat memanggil kami sekeluarga masuk ke ruang ICU. Tuhan menyatakan kedaulatan-Nya yang penuh atas hidup Papa dan membawa Papa kembali pulang.
Ya, Tuhan telah menyatakan kedaulatan-Nya kepada Papa dan kami sekeluarga. Ia menjawab doa kami dengan cara yang baik menurut-Nya, yaitu memberi “kesembuhan total”. Papa sudah sembuh total dari sakitnya, tidak lagi merasakan sakit akibat ketahanan tubuh yang menurun dan sakit efek dari semua alat-alat medis yang dipasangkan ke tubuh Papa untuk membuatnya dapat bertahan hidup selama 4 hari di ruang ICU. Oleh karena Tuhan sayang Papa, Tuhan ingin membebaskan Papa dari rasa sakit berkepanjangan dan [mungkin] Tuhan sudah sangat rindu untuk bertemu Papa. Beruntungnya Papa, ia telah bertemu dengan Tuhan. Justru kami yang ditinggalkan yang [kurang beruntung] harus merasakan sedih kehilangan Papa.
Tidak ada satu orang pun yang siap menghadapi cobaan dan tak ada seorang yang tahu kapan pencobaan itu datang. Seperti Ayub, secara manusiawi mana mungkin seorang yang saleh mendapat cobaan yang begitu berat. Kehilangan semua orang yang dikasihinya, kehilangan kekayaannya dan bahkan ditimpa penyakit gatal-gatal yang parah di sekujur tubuhnya. Namun, Tuhan mengizinkan iblis mencobai dia. Izin yang Tuhan berikan kepada iblis untuk mencobai Ayub bukan berarti karena Allah tidak mengasihi Ayub, Tuhan sangat mengasihi Ayub, makanya Ia berkata kepada Iblis “Nah, ia dalam kuasamu; hanya sayangkan nyawanya”(2:6). Terlihat bahwa Allah sangat mengasihi Ayub. Perlu diingat bahwa pencobaan tersebut bukan berasal dari Allah melainkan dari si iblis. Alasan Tuhan mengizinkan hal itu terjadi ialah karena Tuhan tahu bahwa iman Ayub tidak akan goyah. Iman Ayub yang tak tergoyahkan tersebut tersirat pada pernyataannya kepada istrinya, saat istrinya menyuruh ia untuk menghujat Allah atas segala cobaan yang ditimpakan kepada keluarga mereka, kata Ayub: “…Engkau berbicara seperti perempuan gila! Apakah kita mau menerima yang baik dari Allah, tetapi tidak mau menerima yang buruk?”(2:10).
“Tuhan yang memberi, Tuhan yang mengambil, Terpujilah Tuhan!…Apakah [saya] hanya mau menerima yang baik dari Allah, tetapi tidak mau menerima yang buruk?”(Ayub 1:21 & Ayub 2:10). Saya pribadi sangat menikmati kedua ayat tersebut dalam proses pemulihan diri karena kekecewaan terhadap Allah dan kesedihan sepeninggal Papa. Ayat yang menolong saya untuk menerima kenyataan dan berdamai dengan Allah. Sekaligus ayat yang menegur saya untuk mempertanyakan diri sendiri tentang mengapa saya kecewa dan mengapa saya bersedih seperti orang yang tidak percaya.
Sekalipun cobaan datang silih-berganti menekan hidup kita, tetaplah selalu bersyukur bukannya menghujat Allah. Percayalah, Allah pasti sediakan yang terbaik buat setiap anak-anak-Nya. Tidak pernah hal buruk yang dirancangkan-Nya. Cobalah dengan kerendahan hati untuk menerima hal baik dan hal buruk yang Tuhan izinkan terjadi dalam hidup kita, sebab hal itulah yang menguji iman kita menjadi semakin kuat. Dan seperti Ayub 23:10, “Karena Ia tahu jalan hidupku; seandainya Ia menguji aku, aku akan timbul seperti emas.”