Jangan Mau Diajak Berdamai!

Pertengahan bulan Juli lalu, sekitar pukul 7 malam, saya tak sengaja memasuki jalur Three in One di daerah Tebet. Maklum, saya belum pernah melewati jalan itu sebelumnya dan hanya berbekal GPS, hehehe.

Tepat setelah berbelok ke ruas jalan yang hanya boleh dilewati oleh mobil berpenumpang lebih dari dua orang tersebut, salah seorang petugas meminta kami menepi.

Setelah memeriksa STNK dan SIM saya, pak polisi berkali-kali menanyakan, apakah saya betul-betul mau ditilang dan ikut sidang. “Sidangnya masih lama, lho, setelah lebaran,” begitu kira-kira yang beliau katakan. Saya pun berkali-kali menjawab, “Ya kalau memang saya salah, silakan ditilang saja, Pak.”

(Kali ini, saya tak mau meminta slip biru seperti pengalaman beberapa tahun lalu, karena dengar-dengar, dendanya maksimal. Dulu saya pernah bersikukuh minta slip biru, dan akhirnya justru “dilepas”, hehehe.)

Akhirnya, dengan berat hati, petugas Satlantas tersebut menorehkan nama saya (halah) ke atas kertas tilang yang berwarna merah itu. Saya sebenarnya kasihan, karena nampaknya beliau ingin agar saya tak perlu mengikuti sidang, namun sebagai warga negara yang baik, saya harus mendukung pak polisi dalam melaksanakan kewajibannya, bukan?

 

Hari-H Sidang Tilang
Awal Agustus, hari sidang yang dijadwalkan pun tiba. Saya berangkat pagi menuju lokasi sidang, yaitu Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Saya sempat melakukan penelusuran lewat Google, dan rupanya pernah ada penertiban oleh petugas kepolisian terhadap para calo yang sudah lazim menawarkan jasa pengambilan SIM atau STNK bagi orang-orang seperti saya. Namun bagaimanapun juga, tetap saja ada yang menawarkan jasanya sewaktu saya tiba di sana. Bad habits die hard, katanya.

Situs PN Jaksel sebenarnya memiliki inisiatif yang bagus, yakni menambahkan halaman jadwal sidang tilang. Sayangnya, jadwal terakhir yang tayang sudah lewat sebulan, alias kurang up to date.

Setelah masuk ke bagian pendaftaran, saya memberikan surat tilang dan diberikan nomor urut sidang. Saya pun pergi ke ruang sidang, dan ternyata nomor saya masih cukup lama. Ada sekitar 30 orang di dalam, dan 30-an orang lagi di luar yang “senasib” dengan saya.

Namun, tak berapa lama, ternyata sidang hari itu hanya sampai nomor 80-an (nomor antrean saya 144, kalau tak salah ingat). Nomor antrean selebihnya dipersilakan langsung menuju ruang pendaftaran untuk membayar denda dan mengambil SIM atau STNK yang ditahan. Saya tidak tahu, apakah saya yang terlambat datang (sidang tilang kalau tidak salah memang in absentia, alias terdakwa tak perlu hadir), ataukah hakim dan paniteranya yang sudah lelah, hehehe.

Saya dan para pengantre sidang yang lain pun segera menuju loket pendaftaran dan mengantre di sana. Tak berapa lama, nomor dan nama saya pun dipanggil.

“Berapa, Pak?” Tanya saya kepada petugas loket.

“Tujuh puluh ribu,” jawab beliau.

“Tujuh puluh ribu, Pak?” Saya memastikan sambil kegirangan, karena sebelumnya saya pikir dendanya akan lebih dari 200 ribu rupiah.

“Mobil kan? Kalau mobil, dendanya tujuh puluh ribu,” jawab bapak petugas.

Saya pun langsung membayar dan mengambil SIM saya yang ditahan, kemudian meninggalkan gedung Pengadilan dengan lega, karena setahu saya, dendanya masuk ke kas negara. Eh, iya, kok saya tidak mendapat kuitansi atau tanda terima ya? Hmm….

Memang nampaknya sudah menjadi rahasia umum, bahwa petugas kerap mengajak pengendara yang melanggar aturan lalu-lintas untuk “berdamai”. Tentu saja, damai yang dimaksud bukan seperti perkataan Tuhan, “Berbahagialah mereka yang membawa damai, karena mereka akan disebut sebagai anak-anak Allah”. Oleh karena itu, sekalipun panggilan kita sebagai murid Tuhan adalah untuk membawa damai, tetapi dalam hal pelanggaran lalu-lintas, jangan sekali-sekali mau diajak berdamai! 😀

Cicak VS Buaya

Cicak vs Buaya merupakan istilah yang dikenakan atas konflik antara Polri dan KPK dulu, demikian tutur Da’i yang pagi ini menyerukan: “Polri […]

Tinggalkan sebuah komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *