“Tidak ada makan siang yang gratis,” demikian ujaran yang sering kita dengar. Dan, memang sesungguhnya demikian. Ketika kita makan tanpa membayar—misalnya di kantor kita disediakan makan siang untuk karyawan, bukan berarti itu gratis, melainkan ada pihak lain yang telah membayarnya. Prinsip “tidak ada yang gratis” ini tak hanya berlaku dalam hal makan siang, melainkan kita bisa katakan, dalam semua hal. Dengan kata lain, kita bisa berkata bahwa “tidak ada yang gratis di dunia ini.”
Namun demikian, seringkali ada banyak hal yang kita “take for granted”, alias nikmati begitu saja sebagai sebuah kewajaran. Oksigen yang kita hirup, tulang dan otot yang berfungsi, atau darah yang mengalir di dalam tubuh kita. Kita mungkin baru akan menyadari betapa mahalnya hal-hal tersebut ketika berada dalam kondisi kritis yang mengharuskan kita membayar (seringkali dengan sangat mahal!) untuk hal-hal tersebut.
Susah bersyukur
Apa implikasi dari hidup yang take for granted ini? Salah satunya adalah kita akan menjadi orang-orang yang susah untuk bersyukur. Anda dan saya bisa jadi adalah bagian dari orang-orang yang susah bersyukur itu. Saya tidak ingat pernah bersyukur ketika mendapatkan ilmu pada waktu sekolah dan kuliah, dan hanya bersyukur pada waktu pembagian rapor dan ijazah. Mungkin banyak di antara kita yang seperti saya, yang lebih menghargai hasil daripada proses. Karena proses kita anggap sebagai sesuatu yang biasa, yang sudah seharusnya terjadi, padahal pada kenyataannya tidak demikian.
Sebagai orang percaya, tak jarang kita take for granted keselamatan yang kita miliki berkat pengurbanan Kristus di atas kayu salib. Seolah-olah kerelaan Kristus untuk “mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia; dan dalam keadaan sebagai manusia, merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib” itu sebagai sebuah keharusan, sebagai prasyarat untuk menebus ciptaan-Nya; atau dengan kata lain, kita merasa sudah selayaknya ditebus oleh darah Kristus!
Hidup “biasa-biasa saja”
Akibatnya, tak sedikit di antara kita yang memandang rendah penebusan itu dengan hidup “biasa-biasa saja” seperti yang lainnya. Merasa sudah cukup menghidupi Kekristenan dengan ke gereja setiap minggu. Merasa sudah cukup Kristen dengan tidak mencuri dan tidak menipu. Ya, hidup yang biasa-biasa saja. Lahir, sekolah, kuliah, kerja, menikah, menikahkan anak-anak, menimang cucu, dan seterusnya. Pagi berangkat kerja, sore mungkin hangout dengan teman-teman kantor, malam menonton televisi atau sibuk di media sosial, lalu beranjak tidur; demikian siklus hidup sebagian kita di hari kerja.
Saya teringat salah satu edisi komik Sinchan yang mengisahkan bagaimana ibu Sinchan membacakan buku cerita pengantar tidur. Di buku itu, dikisahkan tentang kehidupan seorang pemuda desa yang biasa saja. Pemuda ini menikahi gadis dari desa sebelah. Nah, suatu hari ada gerombolan perampok menyerbu kota. Namun, karena ia pemuda biasa, pemuda ini melanjutkan hidupnya di desa. Sungguh sebuah kisah yang tidak biasa! Saya rasa, demikianlah pula halnya dengan kehidupan umat tebusan Allah yang biasa-biasa saja. Amat sangat tidak biasa!
Enggan melayani
Implikasi berikutnya dari kehidupan yang take for granted ini adalah keengganan atau bahkan ketidaksanggupan untuk melayani, apalagi membayar harga dalam mengerjakan pelayanan. Hidup sudah berat dan rumit, demi apa lagi menambahkan kesusahan hidup dengan mengambil bagian dalam pelayanan? Toh, kelak yang melayani maupun tidak melayani sama-sama masuk surga bukan? Begitu pikir sebagian orang. Saya sudah tua, biarlah yang muda-muda yang melayani, begitu pikir sebagian yang lain.
Padahal, pelayanan itu bukan sesuatu yang opsional, apabila kita menyimak baik-baik apa yang difirmankan Tuhan setelah membasuh kaki murid-murid-Nya: “Kamu menyebut Aku Guru dan Tuhan, dan katamu itu tepat, sebab memang Akulah Guru dan Tuhan. Jadi jikalau Aku membasuh kakimu, Aku yang adalah Tuhan dan Gurumu, maka kamu pun wajib saling membasuh kakimu; sebab Aku telah memberikan suatu teladan kepada kamu, supaya kamu juga berbuat sama seperti yang telah Kuperbuat kepadamu” (Yoh. 13:13), maka kita tidak akan sanggup untuk tidak melayani.
Pelayanan: panggilan bagi semua orang
Barangkali Anda merasa masih terlampau muda seperti Yeremia pada waktu pertama kali dipanggil untuk melayani sebagai nabi Tuhan, atau mungkin juga Anda merasa sudah tidak berdaya seperti Musa yang terus-menerus meminta Tuhan mengutus orang lain saja. Namun, teladan dan panggilan Tuhan untuk melayani adalah untuk semua orang. Ya, semua orang. Itu berarti setiap kita. Anda dan saya. Kita ditebus dan diselamatkan bukan sekadar supaya kelak masuk sorga, melainkan juga untuk menghadirkan kerajaan-Nya di dunia.
Kristus telah membayar harga yang begitu mahal demi kita, sehingga kita tak bisa mengajukan dalih apapun untuk menghindari atau menjauhi pelayanan, kecuali dengan mengasihi dan melayani Dia dengan segenap waktu, tenaga, talenta, waktu, dan harta kita.
Selamat melayani Dia yang terlebih dahulu melayani kita!