Filipus, Pemberita yang Siap Sedia

Filipus adalah salah satu dari tujuh orang yang dipilih sebagai pengurus jemaat di Yerusalem (Kis. 6:5). Pada waktu penganiayaan mulai melanda jemaat, Filipus diceritakan pergi ke suatu kota di Samaria dan memberitakan Injil di situ (Kis. 8:5-13). Hasil pemberitaannya yang disertai dengan berbagai mujizat dan tanda begitu berdampak, sampai-sampai para rasul di Yerusalem mengutus Petrus dan Yohanes ke sana, karena mereka mendengar bahwa tanah kafir Samaria telah menerima firman Allah (Kis. 8:14).

Tetapi ketika di Samaria sedang terjadi kebangunan rohani besar-besaran, Tuhan “buru-buru” mengutus Filipus ke sebuah tempat yang sunyi. Dan, Filipus sama sekali tidak menunda-nunda, melainkan langsung taat dan berangkat ke jalan yang ditunjukkan oleh malaikat Tuhan. Di jalan yang sunyi itu, Filipus diperintahkan oleh Roh Kudus untuk mengabarkan Injil kepada seorang pejabat tinggi dari Etiopia. Ia pun membimbing Sang Sida-sida hingga bertobat dan mau dibaptis di hari itu juga (Kis. 8:26-38).

Kemudian, secara tiba-tiba seolah-olah Tuhan tak membiarkannya untuk menghela nafas, apalagi “mensyukuri” pelayanannya, Filipus “dilarikan” Tuhan ke Asdod. Ia pun memberitakan Injil hingga ke Kaisarea (Kis. 8:39-40).

Kisah pelayanan Filipus tak diceritakan lagi oleh Lukas, kecuali bahwa rombongan Paulus dan Lukas menumpang di rumahnya ketika tiba di Kaisarea, dan bahwa ia mempunyai empat putri yang beroleh karunia bernubuat (Kis. 21:8-9).

Dari kisah kehidupan Filipus Sang Penginjil ini, kita dapat memetik beberapa pelajaran berharga:

Pertama, hidupnya didedikasikan untuk memberitakan Injil. Filipus menghindari penganiayaan, tetapi ia sama sekali tidak menghindari tugas pemberitaan Injil. Bagi orang percaya, pemberitaan Injil bukan sekadar gaya hidup, melainkan sebuah keharusan. “Celakalah aku, jika aku tidak memberitakan Injil,” demikian ungkap Paulus (1 Kor. 9:16). Bagaimana dengan kita? Apakah kita sudah menghidupi prinsip “celakalah aku jika tidak memberitakan Injil”?

Kedua, di dalam kesuksesan besar pelayanan sekalipun, Filipus tetap memiliki kerendahan hati untuk pergi ke jalan yang sunyi. Menurut sejarah gereja, Etiopia mengenal Kristus berkat sida-sida yang bertobat oleh pemberitaan Filipus di jalan yang sunyi tersebut. Kerendahan hati merupakan karakter wajib seorang pemberita Injil. Itulah yang akan memampukannya untuk melayani bahkan ketika Tuhan mengutusnya ke jalan yang sunyi.

Ketiga, tak hanya melayani orang-orang, Filipus juga memperhatikan kerohanian keluarganya. Hal ini terlihat dari keempat puterinya yang mempunyai karunia bernubuat–karunia, sebagaimana kita ketahui bersama, merupakan buah karya Roh Kudus di dalam diri mereka yang telah diselamatkan. Kita mungkin telah mendengar berbagai kisah mengenai anak hamba Tuhan yang memberontak, melakukan tindak kriminal, atau bahkan meninggalkan Tuhan. Alasan klisenya: orang tua yang sibuk pelayanan sehingga kurang memperhatikan anak-anak. Filipus memberikan teladan kepada kita, bahwa memberitakan Injil sekaligus membangun keluarga yang mengasihi dan melayani Tuhan bukanlah hal yang mustahil.

Terakhir, Filipus mendapatkan julukan yang mencerminkan kehidupannya, yakni “Sang Pemberita Injil”. Julukan ini memberikan petunjuk kepada kita, bahwa setelah menetap di Kaisarea pun, pemberitaan Injil tak pernah absen dari agenda hidupnya. Bagaimana dengan kita? Dengan cara bagaimanakah orang-orang akan mengenal kita? Adakah hidup kita identik dengan (pemberitaan) Injil?

Kiranya kita semua dapat meneladani Filipus Sang Pemberita Injil, baik dalam kedekatan dan ketaatan kepada Tuhan, dalam kesetiaan di pelayanan, maupun dalam membangun keluarga. Amin.

Tinggalkan sebuah komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *