Siapa sih di antara kita yang tidak pernah sekalipun merasa khawatir? Kekhawatiran adalah salah satu penanda kemanusiaan kita. Atau lebih tepatnya, ia adalah penanda keberdosaan kita. Tidak ada satu makhluk pun di muka bumi ini, selain manusia, yang dihinggapi rasa khawatir. Dan, tidak ada satu manusia pun, kecuali Adam dan Hawa sebelum memakan buah terlarang, yang bebas dari kekhawatiran.
Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, makna dari kekhawatiran adalah perasaan “takut (gelisah, cemas) terhadap suatu hal yang belum diketahui dengan pasti….” Dari penjelasan KBBI tersebut, bisa dikatakan bahwa kekhawatiran itu terkait erat dengan masa depan, dengan hal-hal (tidak diinginkan) yang belum terjadi. Sebagai gambar dan rupa Allah, Sang Perancang Kehidupan, manusia juga memiliki kapasitas untuk membuat perencanaan. Namun, karena tidak Mahakuasa, maka kekhawatiran bahwa rencana tidak akan berjalan sebagaimana diinginkan pun muncul.
Dalam batas tertentu, kekhawatiran bukan cuma wajar, tetapi juga bahkan diperlukan. Dalam rapat-rapat untuk mempersiapkan acara tertentu, misalnya, panitia harus membuat plan B, plan C, plan D, dan seterusnya. Jika acaranya hendak digelar di ruang terbuka, maka salah satu hal yang harus diantisipasi oleh panitia adalah apabila hujan turun. Jika lokasi penyelenggaraan acara tergolong baru atau belum dikenal luas, maka kekhawatiran yang muncul adalah hanya sedikit peserta yang datang atau datang terlambat, sehingga langkah-langkah yang disiapkan bisa menjawab kekhawatiran itu, seperti menyediakan peta online, menambahkan armada penjemputan, dan lain sebagainya.
Dalam keseharian kita, kekhawatiran itu menolong kita untuk berjaga-jaga. Para pengendara sepeda motor biasanya sudah menyiapkan jas hujan di kendaraan mereka untuk mengantisipasi datangnya hujan ketika sedang dalam perjalanan. Yang banyak berurusan dengan komputer biasanya memiliki satu atau lebih flash disk untuk menyimpan data cadangan, kalau-kalau komputer yang dipakai bermasalah. Di Indonesia, ponsel dengan dua slot kartu seluler lebih banyak dibeli ketimbang ponsel yang hanya memiliki satu slot, karena pemakai layanan telekomunikasi ingin mengantisipasi kekhawatiran akan kendala sinyal hilang yang masih menjadi PR bagi operator-operator seluler di negara kita.
Akan tetapi, ketika kekhawatiran itu sudah mulai menghimpit dan membuat hidup terasa sesak, di saat-saat itulah kita harus (memaksa diri untuk) berhenti sejenak dan mengevaluasi kembali hidup kita.
Istilah Yunani untuk kekhawatiran yang digunakan oleh kitab Matius ketika Tuhan Yesus berkhotbah di atas bukit adalah merimnao, yang menggambarkan kondisi hati yang diliputi kecemasan akan hal-hal tertentu. Dalam khotbah Yesus, hal-hal tertentu itu termasuk perkara keseharian, seperti makanan, minuman, dan pakaian (lih. Mat. 6:25). Mungkin banyak di antara kita akan sulit memahami, bagaimana mungkin ada orang yang hatinya dipenuhi kecemasan akan hal-hal yang mendasar seperti makanan, minuman, atau pakaian. Namun bagi bangsa yang sedang terjajah oleh bangsa lain (Romawi–pen), untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar pun tentu bukan perkara yang mudah bagi kebanyakan orang. Apalagi, tanah yang mereka diami tak sesubur tanah di negeri kita. Selain itu, pesan Tuhan Yesus jelas: Bapa pasti memelihara hidup kita, anak-anak-Nya, sehingga kekhawatiran (baca: kecemasan) itu merupakan hal yang sia-sia.
Tak hanya sia-sia, kekhawatiran itu sangat berbahaya karena dapat membinasakan benih firman Allah yang mulai bertumbuh di dalam hati kita, sebagaimana perumpamaan tentang penabur yang disampaikan oleh Tuhan Yesus di Matius 13:3-23. Kekhawatiran adalah “sel kanker” bagi iman kita, yang jika tak segera dicabut, akan menggerogoti iman kita tanpa belas kasihan. Itu sebabnya, Tuhan Yesus menggunakan kata larangan yang mutlak, yaitu “jangan”. Tidak ada pengecualian, bahkan untuk perkara-perkara yang sepele seperti “makan-minum-pakai” sekalipun.
Kitab Pengkhotbah 3:11 menuliskan, “… Ia memberikan kekekalan dalam hati mereka. Tetapi manusia tidak dapat menyelami pekerjaan yang dilakukan Allah dari awal sampai akhir.” Di satu sisi, kita memiliki sense of eternity, namun di sisi lain, kita tak bisa mengetahui secara pasti, apa yang akan terjadi. Kekhawatiran muncul di sini, terutama ketika menyangkut hal-hal yang kita anggap penting. Respon dosa jelas, yaitu playing God, alias bersikap bak Allah, seolah-olah masa depan atau takdir itu hanya bergantung kepada kita. Kita seolah-seolah mengambil “tanggung jawab” Bapa untuk memelihara hidup kita. Puncaknya, segala cara dihalalkan untuk memastikan semuanya berjalan sesuai keinginan kita.
Dan bukan hanya dihalalkan, melainkan juga “dikuduskan”, atau dibumbui dengan istilah-istilah rohani dan bahkan ayat-ayat firman Tuhan yang mendukung pilihan-pilihan tindakan kita. Saya pernah mendengar rekaman khotbah, dimana pembicara menyatakan, bahwa apabila kita tidak bisa menjawab soal ujian, kemudian kita berdoa, lalu tanpa sengaja jawaban dari teman kita terbuka sehingga bisa kita lihat, maka itu adalah “jawaban doa”. Sungguh memprihatinkan!
Ada kisah yang lebih memprihatinkan, yakni bagaimana sebuah gereja pada akhirnya menyerah terhadap kekhawatiran bahwa IMB yang sedang diajukan akan menemui kendala sehingga tidak disetujui atau memakan waktu lama, sehingga para pemimpinnya mengambil keputusan untuk menyanggupi tawaran dari oknum dan memberikan suap, demi rumah Tuhan dan demi jemaat. Mereka berdoa kepada Tuhan yang Mahakuasa, akan tetapi pada hakekatnya mereka memungkiri kuasa-Nya.
Ya, kekhawatiran yang merampas damai sejahtera kita itu muncul karena kita memungkiri kuasa Allah. Dan, penyangkalan atas kuasa Allah itu disebabkan oleh relasi yang tidak sehat antara kita dengan Dia, entah karena kita belum sungguh-sungguh mengenalNya, atau karena kita sendiri yang sengaja menjauhkan diri dari Dia. Relasi yang tidak baik dengan Tuhan pasti membuahkan sikap yang tidak berkenan kepadaNya. Mengapa relasi yang tidak baik membuahkan sikap yang tidak berkenan? Karena relasi yang tidak baik menghalangi kita untuk mengenal sifat maupun kehendak-Nya. Bagaimana mungkin kita bisa taat dan berkenan kepada Tuhan, jika kita tidak mengenal Dia, yang–ironisnya–selalu siap menyambut kita dalam hadirat-Nya?
Tidak ada cara yang lebih baik untuk mengenal Tuhan selain melalui firman dan doa. Sekalipun terdengar klise, namun itulah kenyataannya. Firman dan doa itu ibarat bahan dalam resep masakan yang tidak boleh diganti hingga kapanpun. Untuk membuat sebuah telur dadar, misalnya, maka telur itu sendiri mutlak harus ada. Mungkin, jurumasak yang andal akan bisa mengombinasikannya dengan bahan-bahan lain, namun tidak tanpa telur. Entah dilakukan secara pribadi atau bersama-sama, di dalam kamar atau di gereja, merenungkan firman Tuhan dan berdoa adalah keharusan jika kita hendak mengenal Dia dan kehendak-Nya. Tidak ada aktivitas lain, se-rohani apapun kedengarannya, yang bisa menggantikan firman dan doa. Hanya di melalui firman Allah dan di dalam doa, kita dapat sungguh-sungguh mengalami damai sejahtera, seburuk apapun situasi yang kita hadapi. Firman dan doa menolong kita untuk melihat realitas di sekitar kita dari sudut pandang ilahi, bukan dari “bawah matahari”.
Dan, sebagaimana sabda Kristus dalam Matius 6:33, hanya orang-orang yang bertekun dalam firman dan doa sajalah yang akan mencari hal-hal yang dinomor-duakan oleh bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah, yakni kerajaan dan kebenaran-Nya. Sementara apa yang bagi dunia merupakan hal-hal yang utama dan dikejar dengan berbagai upaya, bagi mereka yang bertekun mencari kerajaan dan kebenaran-Nya hanyalah “berkat tambahan” dari Bapa, yang setia memelihara hidup anak-anak-Nya.
Bagaimana dengan kita? Adakah hal-hal atau pergumulan hidup tertentu yang begitu kuat menghimpit iman kita? Segeralah datang kepada Bapa dan “melemparkan” segala kerinduan kita kepadaNya, dan terimalah damai sejahtera dariNya!
Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apapun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur. Damai sejahtera Allah, yang melampaui segala akal, akan memelihara hati dan pikiranmu dalam Kristus Yesus. (Filipi 4:6-7)