Amarah

Amarah merupakan emosi yang manusiawi. Setiap orang pasti pernah marah ataupun dimarahi. Cara tiap orang mengungkapkan amarahnya juga berbeda-beda. Ada yang marahnya meledak-ledak sampai melempar barang-barang atau bahkan memukul orang, ada yang melampiaskan amarahnya dengan mengomel, ada pula yang marah di dengan “aksi tutup mulut.”

Dan bukan hanya manusiawi, amarah juga adalah emosi yang Ilahi. Tuhan pernah marah (bahkan murka!) kepada Musa pada waktu dia berkali-kali menolak perintah Tuhan untuk memimpin bangsa Israel (lih. Kel. 4:14). Dalam perjalanan Israel menuju Tanah Perjanjian hingga sesampainya mereka di Kanaan pun, tercatat beberapa kali murka Tuhan bangkit terhadap mereka (lih. Bil. 11:1, 10, 33; Yos. 7:1; Hak. 2:14, 3:8; dsb.).

Lantas apakah yang membuat amarah ini muncul? Biasanya, seseorang menjadi marah ketika keadaan atau orang lain berlaku tidak seperti yang diharapkan. Nabi Yunus, misalnya, menjadi marah kepada Tuhan, karena tidak jadi menghukum penduduk kota Niniwe yang bertobat setelah mendengarkan peringatan nabi yang keluar dari perut ikan itu. Padahal, bangsa Asyur yang mendiami kota Niniwe merupakan penjajah Israel. Amarah Tuhan biasanya bangkit karena umat-Nya beribadah kepada ilah lain atau melanggar ketentuan-Nya.

Di dalam banyak lingkungan sosial, amarah seringkali dianggap tabu. Hal ini wajar, mengingat suasana menjadi tidak mengenakkan ketika ada seseorang yang sedang marah. Pada waktu seseorang marah, orang-orang yang berada di dekatnya biasanya akan berusaha untuk meredam amarahnya. Tak jarang, amarah justru dipandang sebagai dosa. Akan tetapi, benarkah demikian? Apakah yang dinyatakan firman Tuhan mengenai amarah?

Amarah menurut Alkitab

Kata “amarah” pertama kali muncul di Alkitab dalam percakapan antara Yakub dengan Rahel, isterinya. Yakub memarahi wanita yang sangat dicintainya itu karena mendesaknya untuk memberikan keturunan. “Akukah pengganti Allah yang telah menghalangi engkau mengandung?” demikian bentak Yakub kepada Rahel (lih. Kej. 30:1-2). Kalau boleh ditafsirkan lebih jauh, Yakub menyetujui penawaran Rahel untuk meniduri Bilha, budak perempuannya, agar menghasilkan anak bagi Rahel karena masih terbawa amarah terhadap isterinya itu.

Kemarahan, khususnya yang tidak terkendali, memang bisa membuat kita salah mengambil tindakan, sama seperti yang Yakub lakukan. Akan tetapi, kemarahan itu sendiri bukanlah sebuah dosa di hadapan Tuhan. Lagipula, seandainya marah itu dosa, tentu Tuhan sendiri berdosa bahkan berkali-kali, bukan? Memang, ada amarah yang diakibatkan oleh terhalanginya perbuatan dosa. Misalnya, ada teman kita yang marah karena kita tidak mau ikut contek-mencontek, lalu menyebut kita pelit, sok suci, dan sebagainya. Namun, bukan amarah mereka yang disebut dosa, melainkan tindakan ataupun ucapan mereka itulah yang disebut dosa.

Marah, sedih, gembira, bangga, minder, galau, dan sebagainya merupakan emosi yang bisa dikatakan secara otomatis tertanam di dalam hati kita. Dan, itu semua bukanlah dosa. Jika manusia diciptakan segambar dan serupa dengan Allah, maka tak heran jika Alkitab mencatat bahwa dalam beberapa kesempatan, Allah pun bisa marah.

Di dalam surat rasul Paulus kepada jemaar Efesus, dia menuliskan, “Apabila kamu menjadi marah, janganlah kamu berbuat dosa; janganlah matahari terbenam, sebelum padam amarahmu” (Ef. 4:26). Marah silakan, asal jangan berbuat dosa, demikian kira-kira. Jika kita membaca ayat-ayat sebelum dan sesudah ayat ini, kita bisa mengambil kesimpulan awal, bahwa ada beberapa kondisi yang memang “menjengkelkan” dan bisa memicu amarah, antara lain: beberapa jemaat masih suka berdusta satu sama lain (ay. 25), ada yang suka mencuri (ay. 28), dan berkata-kata kotor (ay. 29). Terhadap hal-hal yang memang tidak sejalan dengan kebenaran itu, marah merupakan kewajaran; hanya saja, kemarahan itu sebaiknya tidak dibarengi dengan perbuatan dosa.

Sebaliknya, apabila kita sebagai umat Tuhan tidak marah dan bahkan bersikap seolah-olah semuanya baik-baik saja ketika mendapati situasi ketidakadilan atau tindakan dosa, justru itu merupakan ketidakwajaran. Kisah perselingkuhan Daud dan Batsyeba misalnya. Daud bersikap seolah-olah apa yang dilakukannya bukan sebuah masalah besar. Padahal, dia sedang melakukan kejahatan yang besar di hadapan Tuhan! Imam-imam di Bait Suci juga diam saja ketika Rumah Tuhan itu dipakai untuk berjualan dan memeras para peziarah. Ketidakadilan itulah yang membuat Yesus marah-marah dan menjungkir-balikkan meja-meja para pedagang.

Amarah yang Berkenan

Amarah yang berkenan kepada Tuhan adalah amarah yang berlandaskan kepada kebenaran dan bersumber dari kasih kita kepada Tuhan dan sesama. Kemarahan Yesus dan tindakannya mengusir para pedagang itu pun sama. Ia tak rela Rumah Bapa-Nya dijadikan sebagai “sarang penyamun.” Di sisi lain, Yesus menyadarkan mereka, bahwa apa yang para pedagang itu lakukan merupakan sebuah kekejian di hadapan Tuhan. Ia tidak menginginkan mereka untuk terus tinggal di dalam dosa. Karena Ia mengasihi mereka.

Nah, oleh karena itu, kita tidak perlu merasa sungkan atau takut berdosa untuk marah. Yang perlu kita lakukan adalah menyelidiki motivasi yang mendasari amarah kita dan mengendalikan diri kita agar tidak berbuat dosa ketika mengungkapkan amarah kita. Ini tentu saja bukan perkara yang mudah, namun bukan pula mustahil untuk dilakukan. Setiap kali terdorong untuk marah, kita harus segera bertanya kepada diri sendiri:

  1. Apakah yang membuat saya marah itu karena kebenaran Tuhan dilangkahi, ataukah karena kepentingan dosa pribadi saya yang dihalangi?
  2. Dengan cara apakah saya sebaiknya mengungkapkan amarah saya? Apakah cara-cara itu akan menyelesaikan permasalahan, ataukah sebaliknya, menambah permasalahan yang ada?
  3. Apakah saya mengasihi orang yang tindakan atau ucapannya membangkitkan amarah saya? Apakah kemarahan saya berdasarkan kasih atau sekadar dendam saja?

Pengendalian diri, yang merupakan salah satu buah Roh, menjadi kunci dalam mengelola kemarahan kita, apalagi di masa-masa muda yang kental sekali dengan luapan emosi. Roh Kudus akan menolong kita untuk mengelola emosi kita, termasuk amarah kita, selama kita terus bergantung kepada Tuhan dan selalu mengingat Dia. Dengan selalu mengingat Tuhan dan mawas diri, kita akan terhindar dari apa yang ditorehkan oleh penulis Amsal: “Orang yang tak dapat mengendalikan diri adalah seperti kota yang roboh temboknya” (Amsal 25:28). Kota yang roboh temboknya, pada masa itu, adalah kota yang mudah sekali diserang musuh. Demikian pula apabila kita tak dapat mengendalikan diri, kita akan mudah diserang oleh musuh kita, yakni Iblis dengan jerat dosanya.

Kiranya kita semua menjadi anak-anak Tuhan yang dapat mengendalikan diri, termasuk amarah kita. Sehingga kita bisa menjadi orang yang dituliskan pula di dalam bagian kitab Amsal lainnya: “Orang yang sabar melebihi seorang pahlawan, orang yang menguasai dirinya, melebihi orang yang merebut kota” (Amsal 16:32). Amin.

Tinggalkan sebuah komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *