Jangan Mendoakan Kebebasan Beragama

Dulu, salah satu hal yang saya doakan untuk negeri ini adalah mengenai kebebasan beragama. Saya adalah salah satu dari sekian banyak warga negara Indonesia yang merindukan agar tercipta suasana damai dalam kehidupan beragama di negeri ini. Bukan hanya dilarang beribadah, sebagian dari kita bahkan diserang secara fisik karena dianggap bi’dah. Sungguh menyedihkan jikalau “tanah surga” yang dikaruniakan kepada bangsa ini harus terpapar darah dari orang-orang yang dianiaya oleh saudaranya sendiri, apalagi bukan karena melakukan tindak kejahatan, melainkan sekedar memiliki keyakinan yang berbeda–sesuatu yang selalu bisa dibicarakan tanpa harus melibatkan tindakan fisik.

Waktupun bergulir, dan sepertinya kenyataan yang terjadi makin jauh dari apa yang saya doakan. Era kebebasan telah disalahgunakan oleh sebagian orang sebagai kesempatan untuk bebas membatasi dan melanggar kebebasan orang lain, khususnya dalam hal beragama. Jika anda mengamati linimasa kebebasan beragama di Indonesia selama ini, tentu anda akan setuju jika dikatakan bahwa kebebasan yang diidam-idamkan itu makin jauh panggang dari api. Bahkan oknum-oknum pejabat yang terjangkit “virus” intoleransipun mulai bebas menggunakan kekuasaan yang dimiliki untuk bertindak sewenang-wenang terhadap pemeluk keyakinan yang berbeda.

Setelah sekian lama mengamati berbagai hal yang terjadi di tanah air, tibalah saya pada sebuah kesimpulan sederhana: jangan-jangan saya (dan banyak yang lain) telah salah berdoa. Saya seharusnya bukan sekedar mendoakan terwujudnya kebebasan beragama di negeri ini, melainkan lebih daripada itu, yakni kedewasaan beragama. Saya semestinya tidak sekedar berdoa agar semua umat beragama di Nusantara rukun-rukun saja, melainkan berdoa agar semua umat beragama di negeri ini menjadi semakin dewasa dalam penghayatan iman mereka. Kedewasaan beragama adalah akar dari kebebasan beragama. Tanpa kedewasaan dalam beragama, tidak mungkin terjadi kebebasan beragama. Kalaupun ada kerukunan, itu adalah kerukunan semu, yakni kerukunan yang entah dipaksakan oleh pemerintahan tiran ataupun kerukunan oleh karena berpura-pura tidak menghiraukan adanya perbedaan keyakinan, yang menganggap bahwa semua agama sama benarnya.

Seseorang yang dewasa dalam beragama akan mengakui orang lain yang berbeda ide ataupun keyakinan, karena ia sendiri menyadari bahwa ide ataupun keyakinannyapun diakui oleh yang lain. Ia menyadari betul, bahwa pilihannya akan suatu agama tertentu merupakan pilihan pribadi, bukan karena “warisan” dari orang tua atau atas dasar paksaan; oleh karenanya, iapun tak boleh memaksakan pilihan keimanan kepada orang lain, yang secara pribadi juga berhak untuk memilih agama apapun untuk diyakini. Menyatakan ketidaksukaan dengan cara merusak adalah ciri khas anak-anak. Mengapa demikian? Karena anak-anak memang belum memiliki tingkat kedewasaan yang cukup untuk berdiskusi, untuk menyatakan pendapatnya dan untuk mendengarkan pendapat liyan. Melakukan tindakan-tindakan (merusak) karena dorongan orang lain juga merupakan ciri khas anak-anak.

Seseorang yang telah dewasa tentu bisa membuat pertimbangan-pertimbangannya sendiri secara matang sebelum melakukan tindakan tertentu. Hal yang sama saya pikir juga berlaku dalam kehidupan beragama kita. Ada yang menyebutkan bahwa kekerasan berdasar agama biasanya dilakukan oleh orang-orang yang “abangan,” alias baru pada tahap awal mengenal agama yang dianut. Karena kurang begitu mengenal tentang agamanya, seseorang akan mudah tersulut emosi jika ada yang memiliki pendapat berbeda mengenai keyakinannya; dan, karena kurang bisa ber-apologetika, alias melakukan pembelaan iman dengan pengetahuan kitab suci yang matang, “pertahanan” berupa makian, ancaman, hingga serangan fisikpun sangat rentan terjadi.

Selain itu, karena kurang begitu mengenal tentang pokok-pokok ajaran agama, seseorang bisa dimanfaatkan oleh orang lain yang seagama namun dengan tingkat pengetahuan agama yang lebih tinggi untuk melakukan apapun yang diinginkan, cukup dengan menanamkan dalil-dalil agama yang seolah-olah benar untuk memupuk fanatisme. Fanatisme inilah yang menjadi bahan bakar dalam setiap peristiwa kekerasan berdasarkan agama.

Oleh karena itulah, doa saya berubah. Sekarang, saya takkan lagi berdoa untuk kebebasan ataupun kerukunan umat beragama, melainkan untuk terwujudnya kedewasaan umat beragama di Indonesia. Saya berdoa, agar makin banyak pemuka agama yang tulus mendidik umat beragama agar semakin dewasa, yang tidak menggunakan posisi mereka sebagai alat untuk memenuhkan ambisi pribadi semata. Salam dewasa!

Tinggalkan sebuah komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *