Selama melayani sebagai Staf Perkantas di Bandung, dari waktu ke waktu saya memiliki kesempatan untuk mengajak sebagian mahasiswa yang terbina di PMK mempertimbangkan kemungkinan melayani sebagai Staf penuh waktu setelah mereka lulus kuliah. Umumnya permintaan ini disambut dengan respon yg sangat serius untuk mencari pimpinan Tuhan. Mereka mendoakannya berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan.
Namun di sisi lain, tidak jarang pula saya mendengar apa yang mereka lakukan setelah lulus. Mengirimkan puluhan paket lamaran kerja via pos atau mendistribusikannya di job fair. Tawaran yg paling menarik dari segi karir atau kompensasi seringkali menjadi prioritas utama. Mengapa sikap yg diambil bisa sedemikian berbeda? Disadari atau tidak, perbedaan tsb lahir dari pandangan bahwa yg satu sakral, sedangkan yg lain sekuler. Yg satu perlu melibatkan Tuhan (sepenuhnya), sedangkan yg lain…?
Ini berbahaya. Karena kenyataannya lebih dari sembilan puluh persen alumni PMK akan memasuki profesi yg dianggap “sekuler.” Kalau mindsetnya seperti itu, bagaimana perjalanan selanjutnya akan ditempuh? Apa sebetulnya yg dikatakan Alkitab tentang hidup keseharian kita di keluarga, tempat kerja, dan masyarakat?
Di bagian awal buku Isu-Isu Global, John Stott berbicara tentang bagaimana narasi Alkitab menolong kita memahami hidup secara utuh. Kerangka 4 pilar di dalam narasi Alkitab (Penciptaan, Kejatuhan, Penebusan, dan Penggenapan – lihat gambar) menolong kita untuk memahami hidup kita dalam konteks perjalanan sejarah umat manusia, sekaligus dalam konteks pekerjaan besar yg sedang Allah lakukan di tengah dunia.
Dalam kisah Penciptaan, rancangan Allah bagi manusia dinyatakan dalam mandat budaya (Kej 1:26-28) dan dilukiskan dalam kehidupan di Taman Eden sebelum manusia jatuh ke dalam dosa (Kej 2). Manusia berelasi akrab dengan Penciptanya, aktif bekerja mengolah alam, berkreasi menamai binatang-binatang, dan berelasi akrab di antara mereka sendiri. Pola serupa kembali muncul dalam kisah Penggenapan (Why 21-22). Setelah dunia dibebaskan dari dosa dan si jahat, relasi manusia dengan Allah, sesama, dan ciptaan lain kembali berlangsung harmonis. Allah hadir sangat dekat di tengah-tengah umat tebusanNya. Gambaran Kehidupan di langit dan bumi yang baru itu pun menyiratkan adanya kreativitas, karya, dan kontribusi manusia saat menjalani kehidupan sebagai suatu komunitas di kota kudus, Yerusalem yang baru. Hal senada muncul juga dalam gambaran eskatologis di Perjanjian Lama (Yes. 65:17-25).
Sangat menarik untuk kita renungkan bahwa kehidupan di dalam kekekalan yang digambarkan dalam Alkitab bukanlah kehidupan yg hanya berisi ritual ibadah (seperti yang sering disalah mengerti dengan mengutip Wahyu 4 secara tidak kontekstual). Kisah Penciptaan dan Penggenapan menunjukkan bahwa berbagai aktivitas yang kita anggap duniawi seperti berkebun, berinteraksi dalam kehidupan di satu kota, dsb., ternyata kita jumpai dalam gambaran Alkitab tentang kekekalan.
Sehingga, tidak berlebihan kalau disimpulkan bahwa seandainya manusia tidak jatuh ke dalam dosa, maka manusia akan terus berkembang dan mengembangkan peradaban sesuai dengan mandat budaya yang diberikan kepadanya di awal penciptaan. Tidak mustahil bahwa peradaban tersebut berkembang dengan ditopang oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Tapi bisa dipastikan bahwa kehidupan masyarakat yang tidak dicemari dosa ini berpusatkan kepada Allah dan mencerminkan karakter-Nya, di mana kebenaran, keadilan, dan kasih, mewarnai hidup keseharian mereka.
Kejatuhan manusia dalam dosa (dimulai dari Kej 3) menyebabkan berubahnya arah sejarah. Manusia berbalik dari orientasi arah dan cara hidup yang dirancang Allah. Bukannya melayani Tuhan dan sesama serta mengelola alam ciptaan dengan bertanggung jawab, yang sering kita jumpai adalah sesama diperbudak, alam dieksploitasi, bahkan Tuhan pun diperalat. Semuanya demi melayani kepentingan diri, baik untuk memuaskan hawa nafsu kedagingan, mengikuti kehendak si jahat, ataupun mengikuti jalan dunia (Ef 2:1-3).
Memahami narasi Alkitab lebih utuh menolong kita memahami karya keselamatan Kristus dalam konteks yang lebih utuh juga. Di sini jadi lebih jelas bahwa keselamatan yang dianugerahkan melalui karya salib Kristus (Ef 2:8-9) bukan hanya dimaksudkan untuk menyelamatkan kita dari murka Allah dan api neraka, melainkan juga agar kita bisa dipulihkan dari disorientasi tadi untuk “melakukan pekerjaan baik yang dipersiapkan Allah sebelumnya” (Ef 2:10). Karya penebusan Kristus dimaksudkan untuk mengembalikan manusia hidup sesuai rancangan Allah yang semula, baik dalam kehidupan pribadi maupun komunal di lingkup keluarga, lingkungan studi / kerja, dan masyarakat.
Ini berarti kesungguhan dalam mencari pimpinan Tuhan dan mengikuti FirmanNya dalam bekerja sebagai kontraktor, pedagang, karyawan, dosen, dokter, dll. seharusnya tidak kalah serius dengan pergumulan untuk menjadi penginjil, pendeta, atau staf perkantas. Melalui pekerjaan kita, melalui kehidupan keluarga kita, dan melalui peran kita di tengah masyarakat Allah ingin menyatakan shalom yang dialami dan disebabkan oleh mereka yang hidup sesuai dengan rancanganNya (Yoh 10:10). Sebagai contoh, sejarah mencatat bahwa kebangunan rohani yang terjadi melalui pelayanan John Wesley juga disertai dengan perubahan besar dalam kehidupan sosial di Inggris di abad ke-19 yang sebelumnya sangat kacau karena berbagai ekses dari revolusi industri.
Panggilan kita adalah menjadi model, cicipan awal ttg kehidupan yg dipulihkan dari kuasa dosa dan si jahat, di dalam dan melalui hidup kita. Narasi Alkitab menegaskan bahwa tidak ada sesuatu di muka bumi ini yang melampaui kedaulatan Allah (lihat kitab Daniel misalnya) atau tidak mungkin diubah oleh kuasa-Nya (lihat Zakheus, Paulus, dll). Namun narasi Alkitab menolong kita untuk memahami juga bahwa kita hidup di masa yg disebut “already, but not yet.” Sebelum kedatangan Kristus yg kedua, kuasa dosa dan si jahat masih terus Allah ijinkan berkiprah di tengah dunia. Sehingga apa yg baik yg pernah dibangun, ketika generasi berganti bisa merosot lagi. Bahkan ketika hal baik sedang terjadi, hal jahat seringkali menyelinap masuk (misalnya kisah Ananias & Safira).
Ini tidak berarti kita boleh bersikap pasrah atau pasif. Meskipun pemulihan yg sempurna baru terjadi nanti di akhir zaman, kita dipanggil untuk membawa pengharapan bagi dunia di sekitar kita. Pada saat yang sama, sebagai orang-orang yang telah dipanggil keluar dari kegelapan kepada terangNya yg ajaib, kita dipanggil untuk memberitakan Kristus, sumber pengharapan dan jalan keselamatan dari kekacauan dan kegelapan yang menyelimuti dunia saat ini (1 Petr 2:9).
Sekalipun demikian, ada satu realita yg tidak boleh kita lupakan, bahwa meskipun sudah jatuh dalam dosa, Narasi Alkitab menegaskan bahwa manusia diciptakan segambar dengan Allah. Sehingga ada benih keadilan, kebaikan, dan kasih dalam diri semua manusia. Bahkan dalam berbagai kesempatan kita mendapati bahwa sikap dan komitmen mereka yang belum mengenal Kristus bisa melampaui orang-orang yg mengaku sebagai pengikut Kristus. Sehingga peran unik yg kita miliki sebagai penunjuk arah kepada-Nya Sumber Pembaruan yang mendasar dan menyeluruh atas seisi dunia itu, perlu kita jalani dengan penuh kerendahan hati.