Kita mungkin sedang berada di era yang sama seperti masa bangsa Israel pascakematian Yosua, sang pemimpin besar yang telah memimpin bangsa itu menaklukkan tanah Kanaan. Narator kitab Hakim-hakim memberitahukan dengan jelas kepada kita latar belakang masyarakat Yahudi pada masa itu, “Pada zaman itu tidak ada raja di antara orang Israel; setiap orang berbuat apa yang benar menurut pandangannya sendiri” (Hak. 17:6).
Pada ayat 2 di pasal yang sama, kita melihat adanya sebuah “pertobatan.” Mikha, tokoh utama dalam pasal ini, dikisahkan membuat “pengakuan dosa” kepada ibunya, yang uangnya telah ia curi. Seorang pencuri telah memutuskan untuk hidup baik-baik. Tapi ada satu masalah.
Mikha dan ibunya tidak mengenal TUHAN yang disembah Israel dengan baik. Pemahamannya akan TUHAN telah bercampur dengan pemahaman kepercayaan-kepercayaan lain yang berkembang di sekelilingnya. Itulah sebabnya, cara ibu Mikha untuk menguduskan uang perak yang telah dicuri Mikha itu bagi TUHAN adalah… membuat patung pahatan dan patung tuangan, yang jelas-jelas dikutuk oleh TUHAN (lih. Ulangan 27:15)!
Menurut etimologinya, nama Mikha punya arti yang luar biasa: “Siapakah seperti TUHAN (?)” Sungguh sebuah pernyataan iman monotheis yang sangat tegas. Ironisnya, Mikha justru mempraktekkan politheisme alias penyembahan berhala! Pemahaman teologis Mikha tentang TUHAN terbatas sekali. Ia mungkin tahu bahwa orang Israel harus menyembah TUHAN yang telah membawa bangsa itu keluar dari perbudakan Mesir, tapi ia jelas tidak tahu bahwa TUHAN melarang keras pembuatan dan pemakaian patung sesembahan.
Saya tidak tahu siapa yang bersalah atas pengenalan Mikha (dan ibunya) tentang TUHAN tersebut, namun satu hal yang pasti, ada satu titik dalam pohon keluarganya yang mulai lalai mengerjakan perintah TUHAN untuk memperhatikan dan “mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu” (Ul. 6:7). Akibatnya, satu generasi yang lalai ini kemudian menyebabkan “kekacauan teologi” bagi generasi berikutnya, yang mungkin “belajar mandiri” praktek beribadah dengan melihat praktek-praktek ibadah bangsa lain. Nama sesembahannya masih sama, namun cara menyembahnya berbeda dan bahkan bertentangan dengan yang dikehendaki TUHAN.
Akibat “Kebocoran” Ideologi
“Kebenaran itu relatif.” Selamat datang di dunia yang relatif. Semua orang di masa kini berbuat sesuai kebenaran yang ditetapkannya sendiri. Bahkan pernyataan yang baru sekedar hipotesa pun dirangkul erat sebagai kebenaran. Ketika bertemu dengan kebenaran yang absolut, misalnya bahwa memperkosa atau merusak milik orang lain itu adalah tidak benar dan melanggar hukum, maka mereka dengan sekuat tenaga akan membuat pernyataan-pernyataan apologetik sampai ke arah bahwa perbuatan-perbuatan tersebut bisa dibenarkan, atau setidaknya, dimaklumi; dan jika perlu, menyalahkan korban!
Mungkin orang-orang yang melakukan kekerasan berdasar agama adalah sebenarnya orang-orang lugu seperti Mikha yang ingin mencari Tuhan, namun sayangnya bertemu dengan “ibu” yang mewarisi kesalahan paham dari pendahulunya lagi, dan seterusnya. Akibatnya, orang-orang lugu tersebut mengekspresikan penyembahannya kepada Tuhan justru melalui cara-cara yang paling Dia benci. Mungkin ada “kebocoran” di salah satu lapisan generasi, yakni generasi pemimpin agama yang benar-benar memikirkan umatnya dan mengupayakan dengan segala cara untuk membentengi umatnya dari gempuran ideologi yang bertentangan dengan kehendak Tuhannya.
Akibatnya, terjadi kekacauan teologi, kekacauan prinsip tentang kebenaran yang hakiki. Dan, karena tidak ada figur pemimpin yang kuat di masa Mikha maupun di masa kini, masyarakat yang awam akan kebenaran yang hakiki pun dengan mudah diperdaya oleh oknum-oknum tidak bertanggung jawab yang mengacaukan pemahaman mereka tentang agama, tentang bagaimana perikehidupan beragama yang baik dan sesuai dengan kehendak Tuhan. Motif oknum-oknum tersebut bisa bervariasi, mulai dari materi hingga apa yang ada di balik rok mini. Kacaunya lagi, di negeri ini telah tersiar secara luas bahwa para penegak hukum pun ternyata berbuat sekehendak hatinya sendiri, bahkan terang-terangan mengakui bermitra dengan gerombolan pelaku berbagai aksi kekerasan!
Jejaring Kewarasan: Sebuah Harapan
Adakah harapan bagi masyarakat yang masih “waras?” Tentu saja selalu ada harapan selama masih ada Tuhan. Ketika nabi Elia merasa hanya dia sendirilah yang setia kepada Tuhan di antara orang sebangsanya, Tuhan dengan sangat mengejutkan mengatakan bahwa Dia masih menyisakan tujuh ribu orang lain yang masih bersetia kepadaNya, yang kakinya tidak pernah sujud menyembah berhala! Di masa dengan teknologi informasi yang berkembang sedemikian rupa ini, saya percaya bahwa kita takkan se-kesepian seperti nabi Elia. Bukankah telah terbukti bahwa hanya dengan Twitter dan Facebook saja bisa terjadi revolusi untuk menumbangkan pemerintah korup?
Yang kita butuhkan sangatlah sederhana: jejaring. Ya, kita perlu membuat “jejaring kewarasan” yang nantinya berisi semua anak negeri dari berbagai suku, daerah, dan agama yang masih “waras.” Jejaring tersebut nantinya harus berkoordinasi dan bergerak sedemikian rupa untuk mempromosikan “kewarasan” itu kembali kepada masyarakat luas. Target perjuangannya sederhana: memenuhi media dengan hal-hal yang positif. Jejaring ini haruslah terdiri dari orang-orang yang “berani rugi” dan saling mendukung demi mencapai tujuan bersama yang mulia: memulihkan kewarasan Indonesia.
Salam waras!