Asumsi

(Sumber: https://goo.gl/images/AbD2Ta)

 

Matahari merekah di pagi hari hingga bulan kembali ke peraduannya. Jam berputar sejak awal kulihat di pukul sepuluh, hingga kini entah beratus kali ia telah berputar, mungkin ia lelah, seperti aku yang sudah lelah menanti pesan whatsapp darimu.

Tak pernah aku semenanti ini, mendengar getaran ponsel rasanya aku berharap itu pesan darimu. Dan aku kesal sendiri dengan diriku. Kesal karena tak kunjung ada kabar darimu. Padahal aku butuh kepastian. Menunggu itu melelahkan, apalagi menunggu dalam ketidakjelasan. Salahku memang terlalu cepat memberi hati pada sesuatu yang belum fakta. Ibarat membangun rumah di atas pasir, aku sedang merancang anganku diatas dasar asumsi. Asumsi yang seringkali membuat aku berekspektasi lebih. Dan ketika ekspektasiku tak sesuai kenyataan, aku kecewa.

Ketidakjelasan atau ketidakpastiaan sangat berpotensi membentuk beragam asumsi. Padahal asumsi bukan fakta, asumsi adalah praduga dan harapan yang muncul dalam pikiran, belum tentu menjadi realita. Ketika asumsi yang dibangun tak sejalan dengan realita yang terjadi, maka kekecewaan adalah hasilnya. Buruknya, ketika aku tidak siap kecewa, aku menyalahkan pihak lain, dan bahkan menyalahkan Tuhan. Aku lupa bahwa sebenarnya aku yang telah menyakiti diriku sendiri dengan asumsi-asumsi yang kuciptakan.

 

Ya, aku membangun anganku dengan asumsiku.

Ya, aku kecewa kenyataan tidak seperti yang kuharapkan.

Ya, aku marah dengan kebodohanku.

Ya, aku kesal kenapa Tuhan tidak merekayasa sesuatu yang baik seperti yang aku asumsikan.

Ya, aku tahu pada akhirnya kesalahan dan kekecewaan ini bersumber dariku.

 

Tidak seharusnya aku berangan-angan dengan modal asumsi.

Tidak seharusnya aku kecewa jika yang aku harapkan tak terjadi seperti mauku.

Tidak seharusnya aku marah karena kebodohanku sendiri.

Tidak seharusnya aku kesal jika Tuhan punya rencana lain yang pasti jauh lebih baik dari harapanku.

Seharusnya aku lebih banyak berbenah hati dan pikiran.