“Woi, Njing”
“Iya, Nyet”
“Asu, Lu”
Saya tidak bermaksud menghina Anda. Tapi, kenyataannya kata-kata tersebut begitu akrab di kalangan generasi era 90-an hingga generasi sekarang. Bagi anak-anak zaman sekarang nampaknya lumrah apabila mereka dijuluki dengan sebutan hewan seperti itu. Herannya, julukan itu diberikan seseorang kepada orang lain yang memiliki hubungan dekat dengannya. Memang membingungkan, mengapa seseorang yang dikatakan teman atau sahabat justru dipanggil dengan sebutan hewan. Apa benar jika seseorang semakin dikasihi justru semakin direndahkan derajatnya secara tidak langsung?
Masih ingatkah kasus Adelina seorang TKI asal Nusa Tenggara Timur yang meninggal akibat kurang gizi dan kekerasan yang dilakukan oleh majikannya? Ia meninggal sehari setelah ia dijemput oleh Polisi Malaysia setelah mendapat pengaduan dari tetangga yang melihat Adelina mengalami luka-luka yang cukup parah. Sebelum meninggal, Adelina sempat menuturkan bahwa sebulan terakhir dia dipaksa tidur di luar rumah bersama anjing peliharaan majikan, tidak diberi makan, dan dianiaya.
Lain halnya dengan cerita kehidupan mewah anjing-anjing peliharaan Paris Hilton. Kehidupan mewah Paris Hilton juga dinikmati oleh anjing-anjing peliharaannya. Artis pecinta anjing jenis Chihuahua ini membangun kandang mewah dua lantai dengan nuansa pink dibangun di halaman rumahnya untuk anjing peliharaannya. Kandang dengan ukuran yang besar dilengkapi dengan furnitur rancangan desainer khusus dilengkapi perangkat elektronik. Memang, Paris Hilton adalah seorang penyayang binatang, sampai-sampai anjing-anjingnya telah dianggap sebagai anak.
Setidaknya, ada hal yang menarik dan ekstrim dari dua kisah di atas, manusia diperlakukan seperti binatang dan hewan diperlakukan seperti manusia. Apakah manusia sekarang memiliki derajat yang sama dengan hewan? Bukankah manusia diciptakan sempurna melebihi ciptaan Tuhan lainnya? Di lain hal ada hewan yang diperlakukan bak manusia. Apakah manusia tak lagi dipandang sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang paling mulia? Dan, apakah hewan telah naik kasta menjadi ciptaan termulia? Pertanyaannya, apakah kita memperlakukan manusia sebagai manusia atau justru perlahan kita sedang terbiasa menghewankan manusia dan memanusiakan hewan?
Pemilik semesta menciptakan manusia dengan sempurna dan berakal budi. Suatu kelebihan yang tidak dimiliki oleh makhluk hidup lainnya. Dalam kisah penciptaan, sejak awal diciptakannya manusia, manusia dimandatkan untuk berkuasa dan memelihara ciptaan Tuhan yang lain. Artinya, manusia memiliki derajat yang lebih tinggi dan memiliki kuasa atas hewan dan ciptaan lain. Tentunya bukan berarti berkuasa yang semena-mena, berkuasa yang dimaksud adalah berkuasa yang bertanggungjawab dan bermoral. Kuasa yang tidak bertujuan untuk merusak atau merendahkan sesuatu, melainkan memberi nilai baru pada makhluk tersebut.
Tuhan secara eksplisit telah menegaskan posisi manusia. Lalu di mana letak kesalahan yang terjadi pada kasus Adelina? Mungkin ini terjadi karena hilangnya rasa menghargai dan menghormati baik dalam tutur kata ataupun perilaku sehari-hari. Atau, bisa jadi karena kita telah terbiasa melakukan hal-hal yang salah. Dan, kebiasaan tersebut menjadikan hal yang salah menjadi hal yang wajar. Rasanya kita perlu memeriksa kembali perilaku kita sehari-hari baik di rumah, ranah publik, ataupun ruang ibadah.
Rasanya, kita perlu mengoreksi perilaku kita. Jika kita secara sadar maupun tak sadar mulai menyebut orang dengan sebutan hewan, mulai memperlakukan manusia dengan perbuatan merendahkan –menyiksanya tanpa rasa kemanusiaan, menguasainya seolah mereka tidak memiliki hak kebebasan hidup— jangan-jangan kita sedang menghewankan manusia. Demikian pula bila kita berlaku berlebihan terhadap binatang dan memperlakukannya melebihi perlakuan kita terhadap sesama, jangan-jangan kita telah memanusiakan hewan. Apabila kita mendapati diri melakukan hal tersebut, apakah mungkin ada yang salah dengan pola pikir kita?
Seharusnya kita kembali pada mandat Tuhan mula-mula. Manusia diciptakan sempurna dan berakal budi. Ia mampu merasa dan berpikir, dan sewajarnya ia diposisikan lebih mulia daripada ciptaan lain. Setiap manusia layak dan memiliki hak untuk dihargai dan dihormati, bukan direndahkan. Logika terbalik ini harus dikoreksi agar tidak diwariskan pada generasi mendatang. Dan, kita yang tahu kesalahan harus berani memperbaiki.
Pustaka: