Dalam percakapan meja makan di sebuah konferensi internasional, saya bertanya kepada seorang profesor fisika yang kebetulan duduk di sebelah saya mengenai apa yang beliau pelajari tentang Tuhan dari ilmu fisika, dan sambil menunjukkan sendok, beliau menjawab, bahwa sesungguhnya sendok itu terdiri atas partikel-partikel sangat kecil yang terorganisir sedemikian rupa sehingga membentuk berbagai wujud benda di sekitar kita (termasuk sendok tadi). Beliau kemudian mengutip Kolose 1:17, “Ia ada terlebih dahulu dari segala sesuatu dan segala sesuatu menyatu di dalam Dia” (TB2).
Sebagaimana sendok makan itu, hidup kita juga terdiri atas hal-hal kecil, yang seringkali kita pandang remeh atau bahkan abaikan karena “memang sudah seharusnya seperti itu.” Setiap embusan nafas, setiap kedipan mata, atau setiap kecapan lidah, misalnya, berapa persen di antara milyaran manusia di bumi yang menyadari “mekanisme tubuh” itu, apalagi bersyukur atasnya? Berapa banyak yang menyadari dan mensyukuri setiap partikel sinar matahari, setiap desiran angin, atau setiap kicauan burung yang turut membentuk hari-hari kita? Bagaimana dengan setiap anggota keluarga, setiap teman dan sahabat, bahkan setiap orang yang memusuhi atau bersalah kepada kita, yang membentuk sifat serta karakter kita? Di dalam belasan atau puluhan tahun kita menjalani kehidupan ini, seberapa sering kita mensyukuri setiap hal kecil itu di hadapan Sang Ilahi?
Kita cenderung menghargai hal-hal yang besar dan tak biasa: mukjizat, kado, oleh-oleh, dan semacamnya. Berapa banyak di antara kita yang selalu, atau bahkan pernah, berterima kasih kepada orang tua atau pasangan yang menyediakan sarapan atau bekal kita ke sekolah setiap harinya? Karena sifatnya yang teratur, kita cenderung menganggapnya sebagai sebuah mekanisme kehidupan yang sudah seharusnya terjadi. Sebuah kewajiban atau tanggung jawab yang harus dipenuhi oleh orang tua atau pasangan. Demikian pula seringkali relasi kita dengan Tuhan. Kita baru akan sungguh-sungguh bersyukur apabila mengalami mukjizat, entah kesembuhan dari penyakit ganas, berkat finansial yang tak terduga dan nilainya seperti yang kita butuhkan, serta berbagai bentuk mukjizat lainnya. Padahal bukan hanya mukjizat-mukjizat besar, bahkan hal-hal kecil seperti yang disampaikan di atas pun sesungguhnya merupakan perwujudan kasih dan kepedulian-Nya yang sungguh besar atas hidup kita, yang puncaknya adalah “amazing grace” itu, dimana Kristus rela menggantikan kita sebagai kurban penebus dosa di Golgota.
Nah, berbekal penghayatan saya mengenai pentingnya bersyukur atas hal-hal kecil itulah, saya menciptakan lagu berjudul “Thank You, Lord” ini. Puji Tuhan, lagu ini saya kirimkan ke Lomba Cipta Lagu GKMI dan dipilih oleh mas Pongki Barata sebagai salah satu juri untuk “dimasak” di dapur rekaman. Hasilnya? Sebuah “hidangan” yang memanjakan indera pendengaran kita, yang menurut beberapa teman, diputar berkali-kali pun tak membosankan.
Akhirul kalam, selamat menikmati pujian ini sambil mengingat dan mensyukuri hal-hal kecil yang Dia beri. Tuhan memberkati.