BARANGKALI tulisan ini tak perlu Anda baca. Anda hanya akan menemukan celoteh-celoteh legap yang membuat Anda mual. Tapi, bila Anda punya gigi dan perut yang kuat, tulisan ini mungkin dapat Anda nikmati.
Boleh jadi momen sembilan Juli menyingkapkan siapa diri Anda. Dalam situasi yang kian panas, mereka yang kerap disebut sebagai kawan adalah orang-orang yang setuju dan sependapat dengan Anda. Sebaliknya, mereka yang disebut sebagai lawan adalah orang-orang yang tidak setuju bahkan bertentangan dengan pendapat Anda. Dengan kata lain, momen sembilan Juli memperjelas siapa kawan dan lawan Anda.
Padahal, sebelum momen sembilan Juli Anda mungkin berkawan karib dengan Paijo, Inem, dan sederet nama lainnya. Tapi, ketika Paijo atau Inem memilih calon pemimpin yang berbeda dengan pilihan Anda, Anda mulai gundah. Kegundahan pun kian menjadi-jadi. Pasalnya, semua orang telah melahap semua jenis bombardir informasi tanpa memilah kembali fakta dan opini secara jernih.
Kita merasa pemilahan antara fakta dan opini adalah sikap yang naif. Bukankah fakta merupakan opini dari sudut pandang tertentu? Lalu, baik Paijo, Inem, dan Anda pun mulai meyakini bahwa pilihannya masing-masing adalah yang paling tepat. “Demi Indonesia,” katanya.
Tiap orang mulai sinis. Tiap orang menilai dari kacamatanya sendiri. Syahdan, tiap kampanye yang digelar selalu bernilai baik dan buruk di mata kita. Ada yang berujar, “Lihat, ini adalah gerakan rakyat.” Tapi, tak sedikit pula yang berkata, “Ah, mereka hanya pandai membuat pencitraan.”
Ironis, bukan? Bukankah momen politik adalah suatu peristiwa kecil yang ambigu, legap, dan misterius dalam sejarah kehidupan kita. Namun, ambiguitas tersebut justru kita manfaatkan untuk memilah-milah “siapa kawan, siapa lawan”. Kita mulai menilai fakta sebagai opini: kawan adalah segala perwujudan yang baik dan yang benar. Sebaliknya, lawan adalah segala perwujudan yang buruk dan yang salah.
Dan, genderang perang pun ditabuh.
4 pemikiran di “Kawan dan Lawan (1)”
Makin keren aja nih ruang tulis, ko’yung…
Kawan dan Lawan (1)
Faktanya, lawan yang ada bukan saling teriak di depan muka, tapi di layar kompi. Debat dunia maya.
Seakan dunia ini benar-benar dunia ide. Lain lagi kalau bertemu, walau bibir ini diam tapi hati berdegup karena debat dunia maya belum usai. Yang ada adalah praduga bersalah (menyalahkan sebelum menyelidiki).
Perlunya menciptakan lawan diskusi, kan. Sukarela membatasi diri berbicara dan menerima argumen lawan diskusi dengan menggali informasi yang ada. Barangkali darinya kita bisa berpindah ke jalur Paijo dan Inem.
Tentu ada untung-ruginya mengekspresikan pendapat dalam dunia maya, Bert. Tapi, dengan segala kekurangannya, sekali waktu kita dapat mengekspresikan unek-unek kita dengan tulus. Siapa tau unek-unek tersebut ada manfaatnya. Bila tidak, kebaskan saja dari penglihatan kita.
Mungkin kawan dan lawan adalah dua hal yang tak begitu jelas. Ambigu. Semoga saja besok saya bisa menutup trilogi tulisan ini dengan baik. Nantikan saja :p
Sudah kubaca tuntas tulisan, ko’yung, beberapa hari lalu. Baru ini kusempat responkan, setelah melihat dan mendengar genderang perang belum usai, walau tulisan 3 (hari coblos) sudah tutupkan cerita ko’yung.
Memang benar, fatwa untuk berkawan mendesak, karena perbedaan dalam debat ini menggetirkan. Bahkan, satu iman, satu kebenaran pun tak cukup dekatkan. Akhirnya, kawan, dan lawan pun terus ada.
Namun, tidak mengenal Paijo dan Inem, menutup cerita untuk tidak berkawan pun tidak berlawan. Karena lawan dan kawan adalah topeng, Ah, apakah yang dimaksud ko’yung pada paragraf penutup?
“Saya mungkin tak kenal Paijo, Inem, atau pun Anda. Tapi, tak jadi masalah. Di sini tak ada lagi kawan, tak ada lagi lawan. Namun, di sini pula hadir kawan dan sekaligus lawan. Di sini Anda bukan lagi pencipta kebenaran, tetapi hanya pekerja-pekerja kebenaran.
Wai, suguhan telah ludes wahai Anda si empunya gigi dan perut yang kuat. Kini, lanjutkanlah penziarahan hidup Anda …!”
Apa mungkin kita perlu bersemedi dahulu sembari menunggu hasil debat selama ini oleh KPU?
Topeng adalah suatu alat yang biasa digunakan untuk menyembunyikan, menyelubungi, atau menutupi sesuatu. Sama halnya ketika kita menyematkan kata “kawan” atau “lawan” pada sesama, sebetulnya kita sedang menyembunyikan keaslian diri kita. Dengan menyebut “kawan” kita terlindung karena merasa ada kesamaan, kebaikan, dan rasa senasib. Sebaliknya, “lawan” membuat kita terancam karena perbedaan, keburukan, dan pertentangan yang tidak kita sukai. Dengan kata lain, “kawan” dan “lawan” digunakan sesuka hati kita untuk menyelematkan diri.
Di sisi lain, sesama kita manusia tidaklah hanya sekadar dikotomi “kawan” atau “lawan”. Manusia adalah campur aduk berbagai unsur kawan atau pun lawan. Jadi, sungguh sayang ketika kita mengasihi sesama karena ia adalah kawan. Atau, kita mengutuk sesama karena ia lawan. Pembedaan kawan dan lawan memang diperlukan, tapi tak perlu dibela mati-matian.