Tiap daerah, lingkungan, atau budaya punya istilah yang terdengar unik bagi daerah, lingkungan, atau budaya yang lain. Sebagai “anak daerah” yang pindah ke ibukota, saya mendapati istilah-istilah khas Jakarta (dan sekitarnya?), yang tidak saya dapati di Semarang, kota asal saya.
Salah satu istilah khas yang bagi saya unik adalah istilah “tidak nyata” untuk menyebut pulpen yang tidak keluar tintanya sehingga tidak bisa digunakan untuk menulis atau menggambar. Di Semarang, kami cuma menyebutnya dengan istilah “macet”, karena memang demikianlah faktanya bukan? (saluran) Tintanya macet, sehingga tidak ada yang keluar. Itu sebabnya, saya suka meledek teman-teman yang memakai istilah TIDAK NYATA sewaktu kesulitan menulis karena pulpen mereka MACET.
Tapi kalau dipikir-pikir, istilah “tidak nyata” ini mungkin meluap dari kekecewaan, karena pulpennya ada, namun kinerjanya (baca: tintanya) tidak nyata. Ada, tapi tidak nyata. Dan, ketika saya merefleksikan hal ini lebih mendalam, saya jadi bertanya kepada diri sendiri, “Jangan-jangan, saya juga tidak nyata bagi keluarga dan teman-teman saya? Saya hanya ada, tapi tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Tidak nyata.”
Jangan-jangan, saya juga hanya ada, tapi tidak nyata di hadapan Tuhan? Jangan-jangan, saya beriman dan berdoa, namun keseharian saya mengingkari iman dan doa saya? Jangan-jangan ketika berdoa, saya hanya dekat di mulut saja, namun hati saya berpaling dari Dia? Ketika saya menyatakan cinta kepadaNya, jangan-jangan cinta saya kepada sesama tidak nyata?
Ah, kiranya itu semua dijauhkan dari hidup saya. Semoga saya menjadi pribadi yang bukan hanya “ada”, tetapi juga “nyata”. Dan, bukan saya saja, tetapi kita semua menjadi pribadi-pribadi yang nyata, yang menjalankan fungsi dan peran sebagaimana seharusnya. Kiranya kita menjadi pribadi-pribadi yang mengasihi sesama tanpa memandang latar belakang suku, agama, sosial-ekonomi, dan sebagainya.
Salam nyata!